Resensi Buku Tulila July 2, 2018 – Posted in: Reviews – Tags: , , , ,

Di dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Mandailing terdapat suatu tradisi berkencan antara pemuda dan anak gadis yang disebut markusip. Secara harafiah markusip artinya berdialog dengan cara berbisik. Pada tradisi markusip, si pemuda dan si anak gadis saling mengungkapkan isi hati dan perasaan mereka dengan cara berbisik. Dalam dialog yang dilakukan dengan cara berbisik itu tidak jarang mereka menggunakan ende-ende atau pantun. Menurut tradisi markusip hanya boleh berlangsung pada waktu tengah malam agar tidak terlihat orang lain karena sifatnya rahasia. Ketika kegiatan markusip berlangsung, si anak gadis berada di dalam sebuah rumah tertentu yang disebut bagas podoman, sementara itu sipemuda berada di luar rumah tersebut. Mereka markusip melalui sebuah lobang kecil yang terdapat pada salah satu sisi dinding bagas podoman yang disebut lubang pangkusipan. Dengan demikian mereka berdialog dengan dibatasi oleh dinding bagas podoman.

Boleh dikatakan bahwa tradisi markusip tidak terlepas dari konsep-konsep, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma maupun kaidah-kaidah yang dimiliki oleh masyarakat Mandailing. Dengan kata lain tradisi markusip sangat erat kaitannya dengan adat-istiadat masyarakat Mandailing. Itulah sebabnya mengapa orang Mandailing mengatakan bahwa tradisi markusip itu adalah adat naposo (adat pergaulan muda-mudi).

Dalam proses awal kegiatan markusip biasanya ada dua tahapan yang dilakukan oleh seorang pemuda. Pertama, ialah marngoti boru bujing (membangunkan si anak gadis yang sedang tidur) untuk diajak berdialog, dan yang kedua, adalah mengelek boru bujing (membujuk dan merayu si anak gadis) pada saat si anak gadis sudah terjaga dari tidurnya agar bersedia melakukan dialog. Aktivitas marngoti boru bujing dan mangelek boru bujing ini disebut mangkusip. Dalam hal ini, apabila si pemuda telah berhasil membangunkan dan membujuk si anak gadis, biasanya si anak gadis akan mangalus (menyahut) dari dalam bagas podoman melalui lubang pangkusipan, dan selanjutnya mereka dapat markusip untuk saling mengungkapkan isi hati dan perasaan masing-masing.

Salah satu cara yang dilakukan oleh seorang pemuda untuk mangkusip, selain menggunakan ende-ende, adalah dengan menggunakan alat musik tiup yang disebut tulila. Dapat dikatakan bahwa tulila dan ende-ende yang dipergunakan oleh kalangan pemuda untuk mangkusip tersebut merupakan warisan budaya masyarakat Mandailing. Warisan itu mereka peroleh dari leluhurnya secara turun-temurun dalam suatu ikatan tradisi. Dengan demikian penggunaan tulila dan ende-ende untuk mangkusip bersifat tradisional.

Bertolak dari pendapat Jaap Kuns yang antara lain menyatakan, bahwa “the study-object of ethnomusicology … is the traditional music and musical instruments of all cultural strata of mankind”, maka musik tradisional yang dimainkan dengan alat musik tiup tulila ini merupakan subjek penelitian yang relevan dalam bidang studi etnomusikologi. Penelitian terhadap bunyi musik dan alat musik tiup tulila ini dilakukan dalam konteks budayanya untuk memahami kedudukan dan fungsi tulila dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Mandailing. Pemikiran ini sejalan dengan pendapat Mantle Hood, bahwa “ethnomusicology is an approach to the study of any music, not only in term of itself, but also in relation to its cultural context”. Namun dalam hubungan ini, George List mengingatkan, bahwa musik tradisional itu “refers to music which has two specific characteristics: it is transmitted and diffused which by memory rather than through the use of writing, and it always in flux, in which a second performance of the same item differs from the first”.

Hal utama yang mendorong keinginan dan menimbulkan minat saya untuk meneliti tulila ialah kenyataan yang menunjukkan bahwa penggunaan tulila dalam tradisi markusip di Mandailing saat ini sudah sangat langka karena secara berangsur-angsur mulai mengalami kepunahan. Beberapa tokoh adat dan pemuka masyarakat Mandailing mengemukakan, bahwa selama enam dekade (60 tahun) terakhir ini telah banyak perubahan sosial-budaya yang terjadi di Mandailing. Situasi dan kondisi yang demikian itu, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah mempengaruhi eksistensi tulila di kalangan muda-mudi Mandailing. Selain itu, setahu saya bahwa penelitian terhadap tulila dalam konteks budayanya belum pernah dilakukan sampai sekarang.

Ketika pilihan dibuat untuk meneliti tulila dalam konteks budayanya, sejak awal disadari bahwa banyak persoalan yang terkait di dalamnya yang tidak akan dapat diteliti secara keseluruhan. Oleh sebab itulah ruang lingkup penelitian dibatasi hanya pada beberapa pokok masalah saja, terutama yang berkenaan dengan penggunaan dan fungsi tulila, serta mentranskripsikan dan kemudian menganalisis bunyi musikal yang dihasilkan ketika kegiatan markusip sedang berlangsung. Dalam hubungan ini, Alan P. Merriam ada menjelaskan, bahwa membicarakan penggunaan dan fungsi musik tidaklah semata-mata berkenaan dengan fakta-fakta tentang musik, akan tetapi juga menyangkut makna-makna musik dalam masyarakatnya.

Pada buku ini juga terdapat transkripsi dan analisis dua buah lagu tradisional yang biasanya dimainkan dengan tulila dalam kegiatan markusip. Karena bagaimanapun, menurut Barbara Krader, mentranskripsikan bunyi musikal ke dalam notasi visual dan kemudian menganalisis materi musik itu sendiri, adalah tugas esensial etnomusikolog. Lebih lanjut, Bruno Nettl ada mengemukakan, bahwa salah satu langkah terbaik untuk mempelajari ciri-ciri dan detail-detail dari suatu gaya musik adalah dengan cara membuat transkripsi dari musik yang akan dipelajari.

Untuk dapat memahami pokok-pokok masalah tersebut di atas, saya menempuh dua cara pendekatan. Pertama, adalah dengan mengkaji perwujudan tulila dalam konteks tradisi markusip, dan yang kedua, adalah dengan cara meneliti apa dan bagaimana hubungan tulila dengan beberapa unsur kebudayaan Mandailing, antara lain: adat-istiadat, sistem dan struktur sosial, bahasa, pengetahuan dan teknologi, serta sistem kepercayaan (religi) yang bersifat tradisional.

Penelitian ini melibatkan kurang lebih 70 orang informan. Informan pria sebanyak 56 orang dan informan wanita sebanyak 14 orang. Usia mereka berkisar antara 81 hingga 20 tahun. Sedikitnya jumlah informan wanita jika dibandingkan dengan jumlah informan pria adalah karena sulitnya ditemukan kaum wanita orang Mandailing yang bersedia dijadikan sebagai informan. Hal ini terjadi karena kaum wanita lebih tertutup atau merasa malu dan enggan untuk mengungkapkan pengetahuan dan pengalaman di masa-masa remaja.

Menyangkut persoalan insider dan outsiderdalam penelitian, Bruno Nettl antara lain menyebutkan bahwa untuk menjadi seorang ahli etnomusikologi yang objektif sebaiknya ia mempelajari atau meneliti kebudayaan musik asing, di luar kebudayaan musiknya sendiri. Beberapa ahli etnomusikologi setuju, bahwa seseorang yang mempelajari kebudayaan musiknya sendiri biasanya kurang objektif karena ia mungkin terlalu banyak mempersiapkan prasangka dan asosiasi pribadi yang diobjektifkan atau bersifat etnosentris. Begitupun, dalam hal insider dan outsider ini Selo Soemardjan ada mengemukakan pendapat, bahwa “ilmu antropologi budaya (juga etnomusikologi-pen) akan bertambah kaya apabila dapat diberi sumbangan dalam bentuk studi oleh ilmuwan-ilmuwan yang lahir dan dibesarkan dalam kancah kebudayaan yang masih sederhana … Dengan demikian jiwanya sejak semula terisi dengan unsur-unsur perasaan dan kepercayaan yang asli, sedangkan caranya mengejawantahkan kebudayaannya dapat dilakukan dengan system ilmiah … dengan Bahasa penelitian dapat dikatakan, bahwa system pengumpulan dan analisa data tidak cukup hanya dengan participant observation saja, akan tetapi diharapkan terjadinya cultural involvement yang nyata”.

Penelitian lapangan saya laksanakan di Mandailing Julu, yaitu di desa di Singengu, Hutarimbaru, Sayurmaincat, Simpang Tolang, Tambangan, Tombang Bustak, Gadingbain, Gunung Tua-Muarasoro, Padang Bulan, Huta Dangka, Muara Pungkut, Huta Pungkut, Huta Godang, Habincaran, Huta Padang, Alahankae dan Simpang Banyak. Sebagian besar orang-orang tua yang berhasil saya wawancarai di desa-desa tersebut memberikan keterangan bahwa di desa mereka masih ada beberapa pemuda dan anak gadis yang melakukan kegiatan markusip, akan tetapi para pemuda sudah sangat jarang menggunakan tulila dan ende-ende. Dan di beberapa desa tersebut saya masih menemukan sejumlah orang tua yang dapat memberikan informasi yang cukup luas dan mendalam tentang berbagai hal yang menyangkut budaya tulila dan markusip.

Tulila: Muzik Bujukan Mandailing

Buku Tulila: Muzik Bujukan Mandailing terdiri atas enam bab. Bab Pertama, Pendahuluan yang berisi uraian ringkas mengenai eksistensi budaya musik tulila dan tradisi markusip di kalangan muda-mudi orang Mandailing di masa lalu. Bab Kedua, Kehidupan Tradisional Orang Mandailing berisi uraian tentang unsur-unsur kebudayaan tradisional orang Mandailing seperti sistem pengetahuan dan teknologi, mata pencaharian hidup, sistem dan struktur sosial, sistem kepercayaan kuno, kesenian, dan bahasa Mandailing. Di samping itu juga dideskripsikan keadaan alam sekitar dan pola pemukiman penduduk serta sejarah orang Mandailing. Bab Ketiga, Tulila dan Markusip mendeskrisikan seluk-beluk aktifitas budaya musik tulila dan tradisi markusip. Bab Keempat, Konstruksi Tulila dan Proses Belajar yang menggambarkan tentang proses belajar markusip dan pembuatan tulila dalam konteks kebudayaan Mandailing. Bab Kelima, Transkripsi dan Analisis mendeskripsikan komposisi dan detail-detail musik tulila dengan memakai “notasi balok” dan “tablatura” untuk mengidentifikasi bentuk dan kantur melodi lagu. Bab Keenam, adalah Penutup yang menguraikan hasil-hasil penelitian secara ringkas.

This review first appeared on June 2007 in Gondang.

« Sharing his love of charming colonial buildings
Sustainability and environmentalism: perspectives from the youth »