Sejarah Kota Medan: Sutan Puasa dari Mandailing Pendiri Kota Kuala Lumpur dan Guru Patimpus adalah Pendiri Kota Medan April 23, 2018 – Posted in: In The News – Tags: Ampang, areca books, Battle of Kuala Lumpur, Biography, Cultural Heritage, culture, heritage, history, Kanching, Kuala Kubu, Kuala Lumpur, Malaysia, Malaysiana, Mandailing, Petaling, Politics, Raja Abdullah, Rawang, Recommended, Social History, Sutan Puasa, Ulu Klang, urban history, Yap Ah Loy
Abdur-Razzaq Lubis telah membuktikan bahwa Kota Kuala Lumpur didirikan oleh Sutan Puasa bermarga Lubis yang bermigrasi dari Mandailing.
Lalu saya teringat pendiri kota Medan yang secara historis disebutkan didirikan oleh Guru Patimpus bermarga Sembiring yang bermigrasi dari Karo. Dengan pembuktian oleh Abdur-Razzaq Lubis bahwa Kota Kuala Lumpur didirikan oleh Sutan Puasa maka dengan sendirinya akan menyandingkan nama pendiri Kota Medan. Secara epistemologi di Asia Tenggara hanya Kota Medan dan Kota Kuala Lumpur yang secara eksplisit diketahui siapa pendirinya.
Awal Mula Medan di Deli dan Kuala Lumpur di Selangor
Guru Patimpus dari datararan tinggi Karo melakukan perjalanan ke wilayah yang lebih rendah di Pulau Brayan. Setelah memeluk agama Islam, Guru Patimpus menikah putri Raja Pulau Brayan. Mereka memiliki dua anak laki-laki, Kolok dan Kecik. Diriwayatkan Guru Patimpus dan keluarga kecilnya dari Pulau Brayan membuka lahan di area antara Sungai Deli dan Sungai Babura pada tanggal 1 Juli 1590. Perkampungan mereka ini kemudian disebut Medan Poetri. Tanggal inilah kelak dijadikan sebagai penanda hari lahir Kota Medan.
Pada tahun 1869 Nienhuys, pionir perkebunan di Deli memperluas kebunnya ke area sisi timur sungai Deli di dekat Kampong Medan Poetri (sekitar lapangan Merdeka Medan yang sekarang). Area ini masih masuk wilayah ulayat Kampong Medan Poetri. Kampung terdekat dari Kampong Medan Poetri adalah Kampong Kesawan dan Kampong Baroe. Lambat laun nama Medan Poetri mengalami reduksi dan hanya disebut Medan (saja). Afdeeling Deli yang dibentuk tahun 1863, pada tahun 1975 dimekarkan menjadi dua onderfadeeling, yakni onderafdeeling Laboehan dan onderafdeeling Medan. Di Laboehan status controleur ditingkatkan menjadi Asisten Residen dan di Medan ditempatkan seorang controleur. Kantor controleur Medan ini berada dekat kantor Deli Mij (nama perusahaan Nienhuys). Deli Mij mempekerjakan kuli dari Tiongkok dan Jawa. Praktis pada tahun 1875 di sekitar Medan sudah terdapat antara 6000-7000 kuli Cina, sementara itu kuli dari Jawa hanya terdapat di beberapa titik, mereka itu berasal dari Bagelan.
Sementara itu, pada bulan September tahun 1872 dilaporkan di Semenanjung bagian barat terjadi peperangan antara dua kubu yang berbeda (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-10-1872). Salah satu pihak meminta bantuan kepada orang Inggris yang dipimpin oleh JG Davidson untuk meredakan. Disebutkan dalam perang ini terlibat orang Mandailing yang dipimpin oleh Sutan Puasa di Kwala Loempor untuk membantu kubu Raja Mahdi. Dalam perang ini juga muncul Kapten Hagen, orang Belanda yang membawa pasukan 100 orang. Pasukan Hagen tidak mudah memasuki Kwala Loempor karena mendapat perlawanan bahkan Kapten Hagen terluka berat. Kwala Loempor kemudian dapat diduduki lalu dibangun benteng. Kubu Mahdi kalah. Sutan Puasa menyingkir dari Kuala Lumpur. Benteng terakhir Sutan Puasa berada di Bukit Nenas (Bukit Gombak).
Kaptein Hagen di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia) dikenal sebagai Letnan Hagen. Hagen adalah seorang tentara buronan (desersi) dan telah terdeteksi sebagai kapten kedua dari Raja Muda Selangor yang diberi gaji 100 dollar per bulan yang baru-baru ini memimpin suatu ekspedisi (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 16-05-1872). Hagen terbunuh pada 3 Oktober tahun sebelumnya (1872) oleh O. K. van Malaka, dan bahwa dia membela benting. penjaga yang diberikan kepadanya oleh Raja Selangor (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-05-1873). Dalam perang itu Kampong Kwala Lompoer hangus terbakar (pada saat ini di sekitar Merdeka Square Kuala Lumpur). Setelah perang berakhir, Inggris membentuk pemerintahan. Kwala Loempor kemudian dijadikan sebagai ibukota Residentie Selangor, Untuk memudahkan dan memperlancar hubungan antara Klang dan Kwala Loempor akan dibuat rel kereta api (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-08-1883). Pada tahun 1887 akan dibangun telegraf antara Kwa Loempor dan Malaka sepanjang rel kereta api dan pada tahun 1888 kabel diperluas hingga ke Penang (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-02-1887). Setelah situasi dan kondisi kondusif Sutan Puasa kembali ke kampong halaman di Koeala Loempoer.
Kota Medan (dibawah kekuasaan Belanda) dan Kota Kuala Lumpur (dibawah kekuasaan Inggris) dengan pesat berkembang. Tidak hanya menjadi pusat perdagangan yang penting tetapi juga menjadi pusat pemerintahan. Kota Medan dengan pelabuhan di Laboehan dan Kota Kuala Lumpur pelabuhan laut di Klang. Meski dua kota ini dipisahkan secara politik (Belanda vs Inggris) tetapi warga kedua kota ini tidak terhalang untuk saling mengunjungi. Pada tahun 1890 dari pelabuhan Laboehan Deli berangkat Si Basiroen gelar Soetan Soealoon ke Kuala Lumpur via Klang (Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 04-09-1891). Besar dugaan Si Basiroen adalah warga Kota Medan asal Mandailing dan Angkola untuk mengunjungi saudaranya di Kuala Lumpur. Sebagaimana diketahui di Kuala Lumpur Selangor cukup banyak orang-orang Mandailing dan Angkola bermigrasi sejak lama (umumnya dari marga Lubis, Harahap, Nasution dan Siregar).
Kuala Lumpur sangat kaya timah. Pertambangan timah di Kwala Loempor kali pertama diusahakan oleh orang-orang Mandailing dan Angkola. Mereka ini eksodus ke Selangor dan membuka perkampungan Kwala Lompoer. Mereka datang ke Semenanjung dalam dua gelombang besar. Pertama, ketika padri melakukan ‘aneksasi’ ke Mandailing dan Angkola; kedua, pasca kerusuhan melawan tanam paksa tahun 1843. Selain bertani para migran ini juga menemukan tambang timah dan mengusahakannya. Hasil-hasil tambang timah orang-orang Mandailing dan Angkola di Kwala Loempoer ini dibawa dengan perahu ke Klang untuk dijual. Radja Klang (dari etnik Bugis) memungut pajak di muara sungai Klang. Dalam perkembangannya, melalui pemimpin orang-orang Mandailing dan Angkola di Kwala Lompoer, Sutan Puasa (1860an) mengundang orang-orang Tionghoa di Klang untuk membuka usaha di Kwala Loempoer. Pada tahun 1895 para pemilik tambang timah di Kwala Loempoer mengirim petisi kepada den Gouverneur der Straits-Settlements gubernur melalui Residen Selangor untuk menuntut tingginya pajak yang dikenakan pada hasil tambang jika dibandingkan dengan pajak sebelumnya (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-01-1895). Pada tahun 1895 ini juga dilaporkan bahwa di Kuala Lunpur telah terjadi pergantian (sementara) Kaptein der Chinees karena akan cuti ke China (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 30-08-1895).
Kota Kuala Lumpur terus berkembang. Pada tahun 1896 Kota Kuala Lumpur ditetapkan sebagai ibukota konfederasi (negara Semenanjung). Mr. Swettenham akan tetap menjadi pemimpin pada bulan Maret namun dia akan tetap memerintah negara dari Taiping, sampai rumah tempat tinggal yang cocok selesai dibangun di Koela Loempor (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-03-1896). Kedudukan Gubernur sebelum di Taiping adalah di Penang.
Pemberontakan telah terjadi di Kwala Lumpur. Sebanyak 20 rumah dijarah dan cukup banyak rumah yang mengalami kerusakan. Inspektur polisi tidak mampu mengendalikan gangguan dan meminta bantuan mendesak. Seorang Cina di Soengei Besie ditembak; yang lain terluka. Kemudian kota ini tenang (Bataviaasch nieuwsblad, 11-03-1897). Surat kabar De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-03-1897 memberitakan perkembangannya bahwa gangguan di Kwala Lompoer Selangor bahwa di antara orang Tionghoa sendiri, sejak Newjiar Cina terakhir, ledakan ketidakpuasan telah terjadi, menyusul penerbitan label untuk penggunaan alat penimbang Cina. Sebanyak enam orang provokator telah ditangkap di Kwala Lompor dan hakim menghukum mereka tiga bulan penjara. Akibat dari itu, tujuh toko di Kwala Lumpoer dan Soengei Besi tutup pada pagi hari, tetapi Kapten Cina, dibantu oleh polisi, berhasil membujuk pedagang (timah?) untuk melakukan kiriman; pukul sepuluh pagi toko-toko buka dan semuanya berjalan seperti biasa lagi.
Kota Kuala Lumpur yang telah menjadi ibukota negara menjadi begitu cepat ramai. Urbanisasi telah terjadi yang dipercepat oleh semakin banyaknya migrasi dari luar Koeala Loempor. Pada sensus tahun 1900 sensus terakhir di Kuala Lumpur jumlah penduduk sebanyak 82.000 jiwa dan Selangar sebanyak 163.000 jiwa. Ini telah menunjukkan kenaikan hampir seratus persen dibandingkan dengan sensus 1891 (Bataviaasch nieuwsblad, 20-04-1901).
Sutan Puasa, pendiri Kota Kuwala Lumpur dikabarkan meninggal tahun 1905. Sutan Puasa telah menetap di Kampong Rawa (Jalan Melayu sekarang) sebelum berpindah ke sebuah perkampungan Mandailing di Jalan Chow Kit. Sutan Puasa yang dulunya adalah orang Mandailing yang terkaya di Kuala Lumpur sesudah perang menjadi miskin. Sementara bekas sahabat karib dan satu perkongsian, Yap Ah Loy menjadi penambang yang paling kaya dan berkuasa sekali di Kuala Lumpur. Sutan Puasa dan Raja Asal adalah ‘sahabat baik’ dan ‘sahabat karib’ dan teman perkongsian Yap Ah Loy. Ketika Yap Ah Loy dipilih menjadi Kapitein Cina di Kuala Lumpur yang ketiga, Sutan Puasa memberi dukungannya. Perayaan perlantikan Yap Ah Loy dan upcara penabalannya disempurnakan oleh Raja Mahdi, seorang raja Bugis. Sewaktu Yap Ah Loy ‘ditabalkan’, Sutan Puasa dan Raja Asal hadir secara istimewa. Penabalan itu terjadi pada bulan Juni 1869 (lihat Abdur-Razzaqk Lubis). Perang terjadi pada tahun 1872 yang mana Yap Ah Loy mendukung Tuanku Kudin dan Soetan Puasa mendukung Radja Mahdi. Oleh karena Tuanku Kudin ‘dibantu’ Inggris/Belanda maka Radja Mahdi kalah. Soetan Puasa ikut menyingkir dari Kwala Loempor, suatu perkampungan yang telah dipimpinnya selama bertahun-tahun di area pertemuan sungai Gombak dan sungai Klang.
Sutan Puasa, pendiri Kota Kuala Lumpur dalam usia tinggi meninggal dunia pada tahun 1905 di rumah sahabatnya, seorang lagi Kapitein Cina di Kwala Lompoer. Soetan Puasa dimakamkan di tanah perkuburan Islam di Jalan Ampang. Al-Fatihah di Kuala Lumpur. Sutan Puasa beristirahat selamnya di kampong yang dibangunnya sendiri, kampung yang menjadi cikal bakal Kota Metropolitan Kuala Lumpur.
Orang-orang Mandailing dan Angkola yang pernah menjabat di Malaysia antara lain: Dato Harun bin Idris Harahap, Menteri Besar Selangor, Tan Sri Dato’, Tun Mohammad Hanif Nasution, Ketua Polis Diraja Malaysia (setara Kapolri), Tun Daim Batubara, Menteri Keuangan, Tan Sri Dato’ Senu Abdurrahman Siregar (pernah menjadi Duta Besar Malaysia untuk Indonesia dan juga mantan Menteri Penerangan Kerajaan Malaysia), Tun Mohammad Haniff bin Omar Nasution (mantan Ketua Polis Diraja Malaysia), Laksamana Dato’ Mohammad Zain Salleh Nasution (mantan Panglima Angkatan Laut Diraja Malaysia), Tan Sri Dato’ Haji Mohammed Azmi bin Haji Kamaruddin Harahap (Hakim Agung), dan Dato’ Kamaruddin bin Idris Harahap (mantan Ketua Polis Diraja Malaysia; dan tentu saja Abdur-Razzaq Lubis penulis buku ‘Sutan Puasa: Founder of Kuala Lumpur’.
Sjech Ibrahim, Kepala Kampong (Lurah) di Kota Medan
Kota Kuala Lumpur dan Kota Medan sesusngguhnya terbilang dua kota baru, dua kota yang sangat-sangat pesat pertumbuhannya. Dua kota ini, sebagaimana kota-kota lainnya yang bermula dari sebuah kampung: Kota Medan bermula dari sebuah kampong Medan Poetri yang didirikan oleh Guru Patimpus dan Kota Kuala Lumpur bermula dari sebuah kampong Kwala Loempoer yang didirikan oleh Sutan Puasa. Kota Medan secara administratif (pemerintahan kolonial) setingkat Controleur dimulai tahun 1875.
Pemerintahan kolonial di Medan Poetri dimulai tahun 1875 ketika Pemerintah Hindia Belanda menempatkan seorang controleur di onderafdeeling Medan yang berkedudukan di (kampong) Medan Poetri (nama Medan Poetri mereduksi hanya disebut Medan saja). Pemerintahan kolonial di Kuala Lumpur dimulai setelah mereda perang saudara. Pada tahun 1872 terjadi perang saudara antara Radja Mahdi dan Tuanku Kudin. Pemerintah Inggris kemudian membentuk pemerintah di Selangar dengan ibukota Kwala Loempoer yang bersamaan dengan penempatan seorang Residen di Kwala Loempoer.
Pada tahun 1879 statatus Kota Medan ditingkatkan dari tingkat Controleur menjadi Asisten Residen. Bersamaan dengan ini ibukota afdeeling Deli dipindahkan dari Kota Laboehan ke Kota Medan. Status Kota Laboehan dengan sendirinya diturunkan dari setingkat Asisten Residen menjadi hanya setingkat Controleur. Dengan demikian Kota Medan dan Kota Kwala Lompoer sama-sama memulai dalam tingkat pemerintahan Residentie pada akhir tahun 1870an.
Pada tahun 1887 status Kota Medan ditingkatkan lagi menjadi ibukota Residentie dimana Residen berkedudukan di Kota Medan. Residen Oost Sumatra yang sebelumnya berkedudukan di Bengkalis dipindahkan ke Medan. Kemudian pada tahun 1909 Kota Medan ditetapkan sebagai kota praja (Gementee). Sementara itu pada tahun 1896 Kwala Loempoer ditetapkan sebagai ibukota konfederasi (negara) Semenanjung. Sejak itu, Kota Kwala Loempoer perkembangannya sangat pesat. Selanjutnya Residentie Oost Sumatra ditingkatkan menjadi Province tahun 1915 yang mana Kota Medan sebagai kedudukan Gubernur. Sejak itu, Kota Medan perkembangannya sangat pesat.
Pada tahun 1909 ketika Medan ditingkatkan menjadi kota (gementee) Hadji Ibrahim diangkat menjadi penghoeloe kampong (kamponghoofd) Kampong (Wijk) Kesawan. Pusat pasar Medan sendiri berada di Kampung Kesawan. Oleh karenanya Hadji Ibrahim juga dikenal sebagai Penghoeloe Pekan. Hadji Ibrahim adalah Kepala Kompong pertama di Kota Medan.
Mohamad Yacoub seorang migran berasal dari Mandailing memulai karir pada tahun 1875 di Serdang sebagai krani di Kesultanan Serdang,. Pada tahun 1880an Mohamad Yacoub pindah ke Medan bekerja sebagai pegawai di perusahaan perdagangan Huttenbach & Co. Mohamad Yacoub kemudian membuka usaha sendiri. Sejak kepulangan Mohamad Yacoub dari tanah suci Mekkah namanya lebih dikenal sebagai Hadji Ibrahim.
Kepala Kampong saat itu adalah jabatan tertinggi seorang pribumi di dalam sistem administraif pemerintahan kolonial. Controleur, (Asisten) Residen dan Walikota (Burgemeester) dijabat oleh seorang Eropa/Belanda. Sementara Radja/Sultan (Kerajaan/Kesulatanan) dan Kapitein adalah pemimpin komunitas (pemimpin masyarakat untuk komunitasnya sendiri). Jika komunitasnya kecil jabatan Kapitein disebut Luitenant dan jika komunitasnya besar disebut Majoor. Jabatan ini tidak hanya terdapat pada komunitas Tionghoa juga pada komunitas lainnya (tergantung kota) seperti Arab, Moor, Bengalen dan lainnya.
Selama era kolonial Belanda, jabatan tertinggi dalam adminitratif pemerintahan yang pernah diraih oleh pribumi adalah wakil wali kota (Loco Burgemeester). Hanya dua orang yang pernah menjabat kedudukan tersebut yakni Dr. Abdul Hakim di Gementee Padang (1931-1938) dan Mohammad Hoesni Thamrin di Gementee Batavia (1929-1931). Abdul Hakim kelahiran Padang Sidempoean, memulai pendidikan di ELS Padang Sidempoean, Setelah lulus ELS, Abdul Hakim melanjutkan pendidikan tinggi di Docter Djawa School di Batavia pada tahun 1898 (sekelas dengan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo). Seorang putra Abdul Hakim bernama Egon Hakim menikah dengan putri MH Thamrin. Oleh karenanya antara Abdul Hakim dan MH Thamrin adalah besanan.
Di pusat Kota Kuala Lumpur kini masih tersisa dua situs lama yang dapat dilihat hingga ini hari yang terawat dengan baik. Dua situs tersebut adalah masjid dan Kantor Gubernur Inggris. Dua situs ini sejak doeloe dua situs itu sudah menjadi penanda navigasi di tengah Kota Kuala Lumpur. Posisi ‘gps’ dua situs ini adalah sebagai berikut: Masjid berada diantara pertemuan sungai Gombak dan sungai Klang; Kantor Gubernur Inggris berada di sisi seberang sungai Gombak (sebalah barat masjid di seberang sungai Gombak). Geografis Kota Kuala Lumpur ini mirip geografis pusat Kota Medan yang dari doeloe hingga kini berada tepat di area pertemuan sungai Babura dan sungai Deli. Di Asia Tenggara hanya dua kota ini di bangun dari suatu perkampungan awal yang lokasinya mirip satu sama lain: berada di area pertemuan dua sungai besar. Masjid dan Kantor Gubernur adalah penanda navigasi sejarah yang terpenting di Kuala Lumpur.
Masjid Jamik Kuala Lumpur ini dibangun bersamaan dengan pembangunan rumah Residen Selangor yang pertama (Davidson) pasca perang saudara di Selangor tahun 1872. Kampung Kwala Lompoer adalah pusat pertempuran yang paling sengit antara pasukan yang dipimpin Sutan Puasa yang berafiliasi dengan Radja Mahdi melawan bala bantuan yang menyokong Tuanku Kudin (seteru Radja Mahdi). Mengapa pertempuran sangat sengit antara penduduk Mandailing dan Angkola yang dipimpin oleh Sutan Puasa). Hal ini karena area di sekitar Kwala Loempoer di daerah pengaliran sungai Gombak sangat kaya kandungan timah yang selama ini menjadi usaha pokok orang-orang Mandailing dan Angkola (selain bertani). Dalam perang ini pimpinan orang-orang Mandailing dan Angkola, Sutan Puasa dan pimpinan orang-orang Tionghoa, Yap Ah Loy yang telah dibina sejak lama pecah. Yap Ah Loy mendukung Tuanku Kudin sementara Sutan Puasa mendukung Raja Mahdi. Situasi saat itu seakan menggambarkan bahwa Sutan Puasa ingin mempertahankan area tambang timah yang sejak awal mereka buka dan kuasai. Sedangkan Yap Ah Loy mendukung Tuanku Kudin karena berharap akan mengambil alih keseluruhan area tambang timah (dari orang-orang Mandailing dan Angkola).
Disinilah duduk soalnya: pasukan Inggris sejatinya lebih mendukung Yap Ah Loy daripada pasukan Sutan Puasa, sebab Yap Ah Loy sudah lebih mengenal orang-orang Inggris yang berpusat di Penang dan Singapoera (pusat perdagangan timah yang utama). Orang-orang Mandailing dan Angkola yang dipimpin oleh Sutan Puasa dengan sendirinya menyokong Raja Mahdi yang memang berseteru dengan Tuanku Kudin yang berkolaborasi dengan Yap Ah Loy dan orang-orang Inggris. Orang-orang Mandailing dan Angkola adalah petarung (warrior dan fighter) karena mereks eksodus dari Mandailing dan Angkola karena kalah dalam kerusuhan melawan Belanda tahun 1843 (yang sangat disayangkan oleh Edward Douwes Dekker) karena banyaknya korban. Eksodus ini akhirnya menemukan tempat yang baru di pertemuan sungai Gombak dan sungai Klang yang kemudian menjadi Kampong Kwala Loempoer. Kubu Raja Mahdi kalah lawan kubu Tuanku Kudin. Akibatnya, orang-orang Mandailing dan Angkola yang tidak mau berkolaborasi dengan Inggris di Kwala Loempoer menyingkir. Ini untuk kedua kalinya warrior Mandailing dan Angkola kalah melawan penjajah. Mereka dapat dikalahkan karena musuh memiliki persenjataan yang jauh lebih modern.
Inilah perbedaan antara Makassar dengan Mandailing dan Angkola di Semenanjung. Mandailing dan Angkola tidak mau berkolaborasi dengan Belanda (di kampung halaman di Mandailing dan Angkola) dan juga tidak mau berkolaborasi dengan Inggris (di tanah rantau). Makassar tidak mau berkolaborasi dengan Belanda di Makassar, tetapi di tanah rantau di Semenanjung mau berkolaborasi dengan Inggris. Lantas mengapa orang-orang yang sebenarnya Makassar ini menyebutnya mereka Bugis? Apakah ini salah satu upaya menghilangkan jejak? Sebab Bugis telah berkolaborasi di Makassar (pasca perang Gowa 1667). Boleh jadi Inggris dan Belanda tidak bisa membedakan antara Makassar dan Bugis. Dengan menyebut Bugis oleh orang Makassar di Semenanjung akan dengan sendirinya mengamankan mereka dari prasangka orang asing (terutama Belanda) di Malaka. Mungkin juga harga diri orang-orang Makassar telah jatuh dan (pasca Perang Gowa) banyak dijadikan budak. Padahal orang-orang Makassar sebelum dikalahkan Belanda (yang dibantu Bugis) adalah petarung dan warrior yang hebat. Karakter petarung Makassar ini juga terkesan di Perang Klang, tetapi mengaku Bugis?.
Pasca kerusuhan (perang) di Kwala Lompoer, pemerintah Inggris lalu membentuk pemerintahan di Selangor. Ibukota Residentie Selangor ditetapkan di Kwala Lompoer (menggantikan Klang?). Residen pertama (Davidson) diangkat tahun 1875.
Pada tahun 1874 Selangor dan Soengei Odjoeng dibawah protektorat Inggris. Selangor, Perak, Sungei Oedjoeng dan Djeleboe, Pahang dan Negeri Sembilan (yang terikat dalam satu konfederasi). Wilayah-wilayah lainnya langsung dibawah Inggris yakni Penang, Melaka, Singapoera dan Province Wyl (Dindings). Pada tahun 1874 di Perak ditempatkan seorang Residen (yang pertama Bich). Sementara Residen di Selangor tahun 1875. Struktur ke atas adalah Gubernur Straits Settelement yang berkedudukan di Penang (kemudian ke Taiping, dan selanjutnya ke Kwala Loempoer). Gubernur bertanggung jawab kepada Menteri Koloni (di Inggris). Protektorat lalu kemudian penyusul Pahang (1888) kemudian Negeri Sembilan (1889), Khusus untuk Sungei Oedjoeng dan Djeleboe masing-masing ditempatkan seorang Officer in Charge yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen yang berada dibawah Residen Selangor (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 23-01-1896).
Hal yang pertama dilakukan Inggris di Kwala Loempoer adalah membangun rumah residen sebagai pusat pemerintahan Inggris di Residentie Selangor. Kedua, pasukan Inggris yang semakin banyak membangun garnisun militer dan pos polisi. Orang-orang yang membantu Inggris dalam awal pemerintahan di Kwala Lompoer ini bukan orang-orang Melayu, Tionghoa atau Mandailing dan Angkola tetapi didatangkan dari India (India, Bengalen, Sigh) baik sebagai tentara, polisi maupun pegawai-pegawai pemerintahan.
Untuk merangkul penduduk pribumi (Mandailing dan Angkola serta Melayu yang beragama Islam) pemerintah Inggris membangun masjid sebagai pusat ibadah. Strategi ini biasanya dilakukan penjajah, baik oleh Belanda maupun Inggris tidak semata-mata untuk merangkul tetapi juga untuk memfasilitasi penduduk agar penduduk bergiat untuk bekerja. Para penjajah tentu saja tidak bisa sendiri, partnernya adalah penduduk setempat (lokal). Bagi penjajah, seperti umumnya ditemukan di Jawa dan Sumatra tidak membedakan para penganut agama dan kepercayaan apakah Islam atau Krister serta pagan. Para penjajah tidak memilih karena agama dan kepercayaan melainkan siapa yang mau bekerja (bertani atau menambang) dan membangun jalan dan jembatan. Masjid yang dibangun bersama penduduk lokal dan pemerintah yang kemudian direnovasi pada tahun 1908. Perenovasian ini diduga kuat terkait sehubungan dengan dipindahkannya istana Sultan Selangar (dari Klang?) ke Kwala Loempoer. Masjid inilah yang disebut Masjid Jamik yang masih eksis hingga sekarang.
Pada tahun 1896 Kwala Loempoer ditetapkan sebagai ibukota konfederasi Semenanjung. Ini dengan sendirinya Kwala Lompoer akan menjadi ibukota Residentie Selangor juga ibukota konfederasi (negara) Semenanjung. Saat penetapan ibukota konfederasi ini (1896) Gubernur masih tetap berkantor di Taiping (Perak) sambil menunggu selesainya bangunan baru Kantor Gubernur. Bangunan kantor ini sangat megah dan selesai tahun 1900. Gedung kantor inilah pada tahun 1974 dimulai pelestariannya dengan memberi nama baru yakni Gedung Abdul Samad (mantan Sultan Selangor). Pada masa ini, sangat keliru gedung ini disebut dalam berbagai tulisan mulai dibangun 1837. Orang-orang Inggris baru datang pada tahun 1872 (saat terjadi kerusuhan). Sementara perkampungan di pertemuan sungai Gombak dan sungai Klang baru dibuka orang-orang Mandailing dan Angkola pasca kerusuhan di Mandailing dan Angkola melawan Belanda pada awal tanam paksa (kopi) tahun 1843.
Kantor Gubernur (foto 1900) tampak di depan sebelah kanan sungai Gombak. Di hilirnya tampak sungai Gombak ini bertemu dengan sungai Klang. Di kejauhan sisi sungai Klang tampak perkampungan orang-orang Tionghoa. Sementara area orang-orang Eropa/Inggris berada di sisi barat sungai Gombak di sekitar Kantor Gubernur. Sedangkan orang-orang Mandailing dan Angkola di sisi timur sungai Gombak, seberang Kantor Gubernur. Masjid Jamik yang masih ada sekarang adalah masjid orang-orang Mandailing dan Angkola.
Sutan Puasa Pendiri Kuala Lumpur, Bukan Yap Ah Loy
Siapa pendiri Kuala Lumpur sudah dibuktikan oleh Abdur=Razzaq Lubis di dalam buknya: ‘Sutan Puasa: Founder of Kuala Lumpur’. Disebut pendiri, tentu saja orang yang lebih awal, yang dimulai dari nol, membuka hutan belantara tanpa penghuni. Atas dasar ini sangat naif mengatakan itu dibuka oleh Yap Ah Loy. Namun bagi orang-orang Mandailing dan Angkola yang dipimpin oleh Sutan Puasa itu keharusan.Orang-orang Mandailing dan Angkola adalah orang-orang yang bermigrasi secara massal karena tidak menyukai penjajah Belanda yang menerapkan tanam paksa kopi di afdeeling Mandailing dan Angkola (Tapanoeli). Satu-satunya tujuan migrasi (eksodus) adalah Semenanjung (yang menjadi wilayah teritori Inggris). Oleh karena mereka sangat banyak, tidak mungkin berhijrah di kota-kota pelabuhan di Semenanjung (seperti Malaka, Penang dan Klang). Satu-satunya cara adalah menyusuri sungai (Klang) jauh ke pedalaman.
Wilayah baru yang kosong di hulu sungai Klang (di pertemuan dengan sungai Gombak) bukan asing bagi orang-orang Mandailing dan Angkola. Sebab mereka adalah orang-orang pedalaman di Mandailing dan Angkola yang berprofesi sebagai petani, peladang dan penambang (emas). Mereka ini adalah petani dan peladang yang mahir hanya saja mereka tidak suka dipaksa oleh penjajah Belanda di kampungnya. Di hulu sungai Klang para migran yang eksodus ini memulai hidup secara mandiri, subsisten membuka lahan untuk berladang dan bersawah dan beternak serta mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menangkap ikan di sungai. Orang-orang Mandailing dan Angkola di hulu sungai Klang tidak ada kurangnya. Mereka cepat beradaptasi dengan situasi dan kondisi lingkungan alam yang baru. Lalu dalam perkembangannya mereka menemukan sumber timah dan menambangnya lalu menjualnya ke Port Klang. Saat itu Port Klang dan Penang adalah dua tempat pos perdagangan timah di Semenanjung (sentra timah yang utama saat itu ada di Kedah). Saat-saat kejayaan orang-orang Mandailing dan Angkola di hulu sungai Klang inilah menurut Abdr Razzaq Lubis, pemimpin orang Mandailing dan Angkola Sutan Puasa mengundang pedagang timah Hiu Siew dan temannya penambang timah Ah Sze Keledek dari Sungai Udjong berhijrah ke Kwala Loempur untuk mengembangkan perniagaan (pertambangan dan perdagangan).
Orang-orang Mandailing adalah Explorer. Cara yang dilakukan oleh orang-orang Mandailing dan Angkola ini tidak lazi bagi orang-orang Tionghoa yang datang dari daratan Tiongkok ke Jawa, Sumatra, Sulawesi, Borneo dan Semenanjung. Orang-orang Tionghoa lebih memilih di sektor perdagangan di kota-kota (membentuk perkampungan). Pengusaha-pengusaha Tionghoa yang sukses baru kemudian beralih dari perdagangan ke industri dan pertambangan. Hal inilah yang dilakukan oleh Hiu Siew dan Ah Sze Keledek. Mereka datang ke Kwala Loempoer untuk mengeksploitasi pertambangan timah yang suda sejak lama ditemukan oleh orang-orang Mandailing dan Angkola.
Hiu Siew dan Ah Sze Keledek sebagai pengusaha mendatangkan kuli dari kampung halaman mereka dari Tiongkok. Hal ini sangat lazim bagi pengusaha Tionghoa di Sumatra, Jawa dan Semenanjung. Di Deli (Ooost Sumatra) Tjong Jong Hian dan Tjong A Fie mendatangkan kuli dari Swato untuk bekerja di perkebunan di Oost Sumatra. Pada tahun 1875 di Deli sudah terdapat 7.000 kuli dari Tingkok. Di Semenanjung sendiri, di Kedah pada tahun-tahun sebelum terjadinya perang saudara (antara Raja Mahdi dan Tuanku Kudin) sudah terdapat 20.000 kuli dari Tiongkok yang bekerja di tambang-tambang timah (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-10-1872). Belum ditemukan laporan sudah seberapa banyak kuli dari Tiongkok yang dipekerjakan oleh Hiu Siew dan Ah Sze Keledek di Kwala Loempor, Selangor sebelumnya terjadinya perang saudara.
Dengan semakin banyaknya kuli dari Tiongkok di Kwala Loempoer dan semakin banyaknya pengusaha-pengusaha baru yang menyusul kemudian Sultan Selangor mengangkat Hiu Siew sebagai Kapitein der Chineezen (lihat temuan Abdur Razzaq Lubis). Oleh karenanya sangat naif mengatakan Yap Ah Loy sebagai pendiri Kuala Lumpur. Menurut Abdur Razzaq Lubis, Yap Ah Loy adalah Kapitein Cina yang ketiga. Jadi memang benar, sangat keliru mengatakan Yap Ah Loy sebagai pendiri Kuala Lumpur. Bahkan Kapitein Cina pertama Hiu Siew justru diundang Sutan Puasa untuk datang ke Kwala Loempoer untuk memulai berniaga.
Di Sumatra, seperti di Deli, jabatan Kapitein (Luitenan dan Majoor) mendapat gaji dari pemerintah Belanda yang posisinya direview setiap tiga tahun (apakah diganti atau tetap dalam posisinya). Jika komunitas Tionghoa besar dan menyebar diangkat Luitenan untuk membantu Kapitein; jika komunitas semakin besar status Kapitein ditingkatkan menjadi Majoor untuk membawahi satu atau beberapa Kapitein. Pengadministrasian pemimpin komunitas Tionghoa di Semenanjung ini besar kemungkinan mirip dengan di Deli. Kapitein di Semenanjung diangkat oleh Sultan/Pemerintah Inggris.
Setelah perang, Inggris membentuk pemerintahan di Kwala Loempor. Lalu Resident Selangor dipindahkan ke Kwala Loempor. Rumah Residen dibangun di suatu area yang lebih tinggi di sebelah barat sungai Gombak. Area ini diduga adalah area kosong. Sementara perkampungan orang-orang Mandailing dan Angkola berada di sisi timur sungai Gombak. Sedangkan kamp orang-orang Tionghoa berada di sisi selatan sungai Klang. Residen mulai menata kawasan Kuala Lumpur yang mengacu pada tiga area: pusat pemerintah Inggris dan area orang-orang Eropa/Inggris (termasuk India); perkampungan Mandailing dan Angkola; serta kampement Tionghoa. Hal ini adalah pola yang umum diterapkan oleh Belanda di Jawa dan Sumatra yang memisahkan area pemukiman berdasarkan komunitas. Pola tempat tinggal semacam ini juga tampak diterapkan di Kwala Lumpoer.
Dengan semakin kondusifnya situasi dan kondisi di Kwala Loempoer lalu pada tahun 1896, Kwala Loempoer dijadikan sebagai ibukota konfederasi (negara) untuk menggantikan Taiping (Perak). Kantor Gubernur juga lalu dipindah dari Taiping ke Kwala Loempoer. Gedung Kantor Gubernur dibangun di area Eropa.Inggris sebelah barat sungai Gombak (dan sebelah utara sungai Klang). Bangunan Kantor Gubernur ini tidak jauh dari Kantor/Rumah Residen Selangor. Bangunan Kantor Gubernur ini masih eksis hingga hari ini yang dikenal sebagai Gedung Abdul Samad (nama Sultan Selangor).
Dalam perkembangannnya, orang-orang Mandailing dan Angkola banyak yang merantau Klang/Kwala Loempoer. Hal ini karena prospek ekonomi di afdeeling Mandailing dan Angkola sudah mulai menurun sementara berita sukses orang-orang Mandailing dan Angkola di Selangor terdengar hingga ke kampung halaman. Namun dalam perkembangannya arus perantau ini mulai menurun sejak tahun 1905. Hal ini karena Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Sementara perekonomian juga semakin pesat di Deli. Para perantau dari Mandailing dan Angkola mulai mengalihkan perhatian ke Selangor menjadi ke Deli. Apalagi pada tahun 1905 di Medan sudah berdiri Sjarikat Tapanoeli yang terdiri dari orang-orang Mandailing dan Angkola. Arus perantau ini semakin deras sejak 1915 ketika Sumatra’s Oostkust ditingkatkan dari Residenti menjadi Provinsi dan Gubernur berkedudukan di Medan. Pada saat Sumatra’s Ooskust menjadi provinsi transportasi darat dibuka ke Tapanoeli.
Selangor dan Klang
Mengacu pada tulisan John Anderson (1923) Kuala Selangor adalah settlement orang-orang Bugis. Tahun 1783 Selangor bergabung dengan Malacca. Tidak lama kemudian pada tahun 1784 Belanda menduduki Malacca dan kemudian Kuala Selangor (Selangor). Saat Belanda tiba di Kuala Selangor sudah kosong, Raja Selangor dan pengikutnya lari ke Pahang. Dengan dua ribu orang Pahang kembali Raja merebut Selangor dengan menduduki pelabuhan Kuala Selangor,.
Pada tahun 1667 Makassar dikalahkan oleh Belanda yang dibantu oleh Bugis (Aru Palakka). Sejak itu banyak pangeran-pangeran Makassar melarikan diri. Salah satu tujuan pelarian orang-rang Makassar adalah Selangor. Jhon Anderson diduga salah mengidentifikasi Kuala Selangor didiami oleh Bugis. Seharusnya orang-orang Makassar, karena ketika Belanda datang ke Kuala Selangor orang-orang Bugis melarikan diri ke Pahang (seharusnya orang-orang Makassar). Orang-orang Bugis dalam Perang Gowa (Makassar) telah berkolaborasi untuk melawan orang-orang Makassar. Orang-orang Makassar dalam posisi diburu oleh Belanda. Masuk akal jika Raja Makassar di Kuala Selangor melarikan diri ketika Belanda datang. Ketika Belanda tahun 1784 melakukan ekspedisi ke Riaow yang mana Sultan Siak yang dibantu pangeran Selangor akan menyerang Malaka (lihat Handelingen en geschriften van het Indisch Genootschap te ‘s-Gravenhage, onder de zinspreuk: Onderzoek leidt tot waarheid, 1856). Komandan ekspedisi ini adalah Dirk van Hoodendorp (lihat Tijdschrift voor Neerland’s Indië jrg 15, 1853 (1e deel), no 4, Deel: 1e deel 01-01-1853). Selama ini Sultan Siak memusuhi kompani di Riaouw. Ini mengindikasikan bahwa pangeran Selangor juga memusuhi Belanda. Oleh karena itu Sultan dan pangeran dari Selangor ini adalah orang-orang Makassar yang lebih satu abad tidak senang dengan Belanda. Pada masa ini tokoh-tokoh di Selangor banyak bergelar Daeng, gelar dari Makassar (gelar Bugis adalah Andi).
Untuk menghalangi Belanda, Raja Selangor meminta dukungan dan bantuan Inggris. Raja Selangor, Sultan Ibrahim pada tahun 1786. Sejak itu Selangor berada dibawah protektorat Inggris. Sementara itu, Klang berada dibawah Malacca dan kemudian Selangor. Klang didiami (settlement) oleh berbagai bangsa (berwarna-warni).
Pada permulaan abad ke-19 terjadi aneksasi padri ke Mandailing dan Angkola. Orang-orang Mandailing dan Angkola pada tahun 1830 meminta bantuan Belanda untuk mengusir padri. Kolaborasi kemudian dilanjutkan dengan ikut membantu Belanda untuk melumpuhkan padri di Bonjol (Perang Bonjol). Pada tahun 1837 Bonjol dapat ditaklukkan, lalu Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan kemudian diasingkan. Antara tahun-tahun 1816 hingga 1837 diduga orang-orang Mandailing dan Angkola telah banyak yang melarikan diri hingga ke daerah pengaliran sungai Baroemoen di Laboehan Bilik dan di Semenanjung (Klang). Pasukan Tuanku Tamboesai yang turut membantu Bondjol lalu melarikan diri ke Angkola dan Padang Lawas. Pada tahun 1838 pasukan Belanda membantu hulubalang Mandailing dan Angkola untuk mengusir pasukan Tuanku Tambusasi. Pada bulan Oktober hulubalang Mandailing dan Angkola yang dibantu Belanda merangsek terus hingga ke benteng Pertibie. Puncak pertempuran terjadi Daloe-Daloe yang akhirnya pasukan Tuanku Tambusasi menyerah.
Mandailing dan Angkola: Medan vs Kuala Lumpur
Pada tahun 1840 di Afdeeling Mandiling dan Angkola dibentuk pemerintahan. Asisten Residen ditempatkan di Panjaboengan (Groote Mandailing). Bersamaan dengan pembentukan pemerintahan ini diberlakukan koffiekultuur yang didukung dengan penempatan dua Controleur di Klein Mandailing (Kotanopan) dan di Angkola (Padang Sidempoean). Oleh karena koffiekultuur ini telah bergeser menjadi koffiestelsel, sebagai penduduk Mandailing dan Angkola melakukan perlawanan (pemberontakan). Pada tahun 1842 Controleur Natal mengadvokasi golong penduduk yang menentang koffiestelsel ini. Bukannya mendapat respon positif dari pemerintah Belanda justru koffiestelsel semakin berat. Akhirnya Edward Douwes Dekker (kelak dikenal Multatuli) pada tahun 1843 dipecat dan ‘ditahan’ di Padang. Sementara para pimpinan pemberontak banyak yang ditangkap dan sebagian yang lain melarikan diri ke wilayah yang aman dibawah kekuasaan Inggris di Semenanjung. Pada masa-masa pemberontakan (1842-1870) inilah diduga banyak penduduk Mandailing dan Angkola menuju Semenanjung untuk mengikuti pendahulu mereka yang sudah beberapa dekade eksodus (era padri). Pimpinan pemberontakan yang terakhir, Ranggar Laoet di Angkola berhasil dilumpuhkan tahun 1870 (lihat Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-03-1870).
Pada tahun 1850 di Afdeeling Mandailing dan Angkola diintroduksi pendidikan dengan mendirikan sekolah rakyat di Panjaboengan dan Padang Sidempoean. Pada tahun 1854 dua lulusan terbaik Si Asta (Panjaboengan) dan Si Angan (Padang Sidempoean) dikirim untuk mengikuti pendidikan kedokteran di Batavia (Docter Djawa School; dibuka tahun 1851). Dua siswa Mandailing dan Angkola yang mengikuti pendidikan dokter ini adalah siswa pertama yang berasal dari luar Jawa. Pada tahun 1856 Dr. Asta ditempatkan di Mandailing dan Dr. Angan di Angkola. Pada tahun 1857, Si Sati alumni sekolah rakyat di Panjaboengan berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan akte guru. Pada tahun Si Sati yang telah mengubah namanya menjadi Willem Iskander selesai studi di Belanda dan kembali ke kampung halaman dan tahun 1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobatoe (Mandailing). Siswa-siswa yang diasuh Willem Iskander berasal dari lima sekolah rakyat yang ada di Afdeeling Mandailing dan Angkola. Pada tahun 1864 Kweekschool Tanobato ini dinyatakan sekolah guru yang terbaik di Nederlandsch Indie (baca: Hindia Belanda). Pada tahun 1865 sekolah ini diakuisisi pemerintah sebagai sekolah guru negeri (sebelumnya sudah ada dua sekolah guru negeri: di Soerakarta didirikan tahun 1850 dan di Fort de Kock tahun 1856). Dengan demikian sekolah guru Tanobatoe adalah sekolah guru negeri yang ketiga. Lulusan sekolah guru ini disebarkan ke seluruh Tapanoeli.
Pada tahun 1870 ibukota Afdeeling Mandailing dan Angkola dipindahkan dari Panjaboengan (Mandailing) ke Padang Sidempoean (Angkola). Pemindahan ini diduga karena situasi telah aman dan ada upaya Belanda untuk melanjutkan dengan mulai menginvasi Bataklanden. Garnisun militer di Padang Sidempoean yang sudah berdiri tahun 1843 di Padang Sidempoean diperkuat menjadi markas militer untuk Residentie Tapanoeli. Pada tahun 1879 sekolah guru yang lebih besar dibuka di Padang Sidempoean (sebagai pengganti sekolah guru Tanobatoe yang sudah ditutup).
Pada saat semua penduduk usia sekolah di Afdeeling Mandailing dan Angkola, Residentie Tapanoeli sudah bersekolah dan murir-murid yang pintah memasuki sekolah yang lebih tinggi (kweekschool), Belanda baru memulai pemerintahan di Afdeeling Deli. Wilayah Deli diivansi oleh Belanda pada tahun 1863 dan pada tahun itu dibentuk pemerintah di Deli dengan menempatkan seorang Controleur di Laboehan. Pada tahun 1865 Nienhuys membuka kebun di Leboehan (Deli). Untuk memperluas perkebunan (tembakau) Nienhuys mendatangkan kuli Cina dari Penang. Pada tahun 1869 Nienhuys membuka kebun di Medan. Kuli-kuli Cina yang lebih banyak didatangkan dari Swatow. Pada tahun inilah Tjong Jong Hian diangkat sebagai Kapitein Cina di Laboehan Deli.
Di Kwala Loempoer, Selangor nama Sutan Puasa muncul ke permukaan sebagai pemimpin Mandailing dan Angkola. Sutan Puasa adalah pedagang timah dari usaha pertambangan (mandulang) yang dilakukan oleh orang-orang Mandailing dan Angkola di pertemuan sungai Gombak dan sungai Klang. Pada tahun 1859 Sutan Puasa mengundang pengusaha Hiu Siew untuk ikut mengusahakan pertambangan timah. Hiu Siew yang telah membawa banyak kuli Cina cepat maju dan kaya serta memiliki pengaruh yang kuat diantara orang-orang Tionghoa di Kwala Loempoer. Lalu Hiu Siew ditabalkan sebagai Kapiten Cina yang pertama. Kapiten yang kedua ditabalkan pada tahun 1862 dan Kapiten yang ketiga Yap Ah Loy tahun 1868.
Sutan Puasa yang telah sukses di Kwala Lompoer tentu saja kerap pulang kampung di Mandailing. Jarak antara Kwala Loempor (dan pelabuhan Klang) dengan Mandailing (dan pelabuhan Laboehan Bilik) tidaklah terlalu jauh. Kabar sukses orang-orang Mandailing dan Angkola di Kwala Lompoer cepat beredar. Orang-orang Mandailing dan Angkola cepat mengalir ke Klang/Kwala Lompoer. Mereka ini datang ke Klang/Koeala Loempoer sudah memiliki pendidikan (sekolah rakyat di Mandailing dan Angkola).
Beberapa waktu sebelum Yap Ah Loy diangkat sebagai Kapitein Cina di Kawala Loempoer (1868) sudah mulai ada perseteruan antara Sultan Selangor (Abdul Samad) dan Raja Mahdi. Hal ini dipicu oleh pembangkangan Raja Mahdi (Kwala Loempoer) yang kemudian menyerang Klang (Raja Abdullah). Kemarahan Sultan Abdul Samad semakin menjadi-jadi dalam kenyataannya Raja Mahdi yang telah berkuasa di Klang karena tidak memberi setoran pajak/cukai kepada Sultan. Sejak itu, Sultan Abdul Samad mengirim menantunya, Tuanku Kudin (Kedah) untuk mengatasi Raja Mahdi. Perseteruan di antara kalangan kesultanan (para pangeran) juga antara Sutan Puasa dan Yap Ah Loy di Kwala Loempoer ‘pecah kongsi’. Yap Ah Loy memihak Tuanku Kudin dan menyerang pasukan Mandailing dan Angkola, Sutan Puasa yang telah terdesak ke Kwala Loempoer memihak Raja Mahdi. Rangkaian inilah yang kemudian disebut Perang Klang (1867-1874).
Relokasi Ibukota: Orang Mandailing dan Angkola Sudah Sejak Lama Menyebar
Kuala Lumpur yang telah didirikan oleh Sutan Puasa dalam perkembangannya telah menjadi ibukota Residentie (Kesultanan) Selangor (1875) dan telah ditingkatkan statusnya menjadi ibukota konfederasi (negara) Semenanjung (1896) hingga sekarang. Ibukota konfederasi sebelumnya adalah di Taipimg (Perak). Ibukota Residentie (Kesultanan) Perak sebelumnya berada di Koeala Kangsar (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 14-02-1896). Kelak diketahui ibukota Perak berpindah lagi ke Ipoh (hingga sekarang).
Perpindahan ibukota di era kolonial adalah lazim. Sebab penjajah memiliki kepentingan dengan kedudukan suatu ibukota (sebagai pusat administrasi pemerintahan juga pusat perdagangan). Ini tidak hanya di Semenanjung tetapi juga di wilayah terdekatnya di Sumatra. Pada tahun 1870 ibukota Afdeeling Mandailing dan Angkola, Residentie Tapanoeli dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean. Panjaboengan ditetapkan sebagai ibukota Afdeeling Mandailing dan Angkola sejak 1840. Selama perang padri (1830-1840) ibukota Mandailing masih berada di Kotanopan. Pada tahun 1875 Padang Sidempoean ditingkatkan statusnya sebagai ibukota Residentie Tapanoeli. Sementara itu di Residentie Sumatra’s Oostkust, pada tahun 1875 dibentuk pemerintahan setingkat onderafdeeling (kecamatan) di afdeeling Deli dengan menempatkan seorang Controleur di Medan. Sejak itu Kampong Medan cepat berkembang menjadi kota (town). Pada tahun 1879 status Medan ditingkatkan menjadi ibukota afdeeling Deli, yang mana asisten residen Deli dipindahkan dari Lebohan ke Medan. Sementara Sultan Deli tetap berada di Laboehan. Pada tahun 1887 Medan dijadikan ibukota Residentie Oostkust Sumatra yang sebelumnya berada di Bengkalis. Setelah penetapan ibukota Oostkust Sumatra inilah Sultan Deli dipindahkan dari Laboehan ke Medan. Selanjutnya tahun 1915 Residentie Oostkust Sumatra dijadikan province yang mana Gubernur berkedudukan di Medan (hingga sekarang).
Kuala Lumpur yang didirikan oleh Sutan Puasa, ketika tahun 1875 dijadikan sebagai ibukota Residentie (Kesultanan) Selangor, Padang Sidempoean, selain ibukota Afdeeling Mandailing dan Angkola juga menjadi ibukota Residentie Tapanoeli. Ini berarti sama posisi Padang Sidempoean dan Kuala Lumpur sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan. Hubungan antara dua kota pada saat itu tentu saja sudah terhubung sebab di Kuala Lumpur sudah sejak lama menjadi tujuan utama migrasi orang-orang Mandailing dan Angkola.
Pada tahun 1850 pendidikan (aksara Latin) diintroduksi di Afdeeling Mandailing dan Angkola dengan membangun dua sekolah rakyat di Panjaboengan dan Padang Sidempoean. Pada tahun 1862 di Afdeeling Mandailing dan Angkola dibuka sekolah guru (kweekschool) di Tanobato. Pada tahun 1879 sekolah guru yang lebih besar dibuka di Padang Sidempoean (menggantikan sekolah guru di Tanobato yang ditutup tahun 1874). Pada tahun 1879 di Residentie Tapanoeli terdapat sebanyak 15 sekolah rakyat yang mana diantaranya 12 buah berada di Afdeeling Mandailing dan Angkola (empat diantanta berada di Padang Sidempoean). Sementara itu tahun 1875, di Deli baik di Laboehan maupun di Medan belum satupun terdapat sekolah rakyat. Pada tahun ini juga di Residentie Selangor juga belum ditemukan satupun sekolah rakyat. Ini mengindikasikan bahwa pendidikan di Mandailing dan Angkola jauh lebih awal dibandingkan di Deli dan Selangor. Oleh karena migrasi orang-orang Mandailing dan Angkola terus mengalir ke Deli dan Selangor, maka orang-orang Mandailing dan Angkola di Deli dan Selangor sudah memiliki pendidikan. Bahkan seorang pemuda belia bernama Mohammad Jacoup tahun 1875 sudah menjadi krani (juru tulis) di Kesultanan Serdang yang berada kota pantai di Rantau Panjang, Serdang (kelak Mohammad Jacoup yang dikenal Sjech Ibrahim tahun 1900 menjadi Kamponghoofd/lurah pertama di Kesawan Kota Medan). Lantas siapakah yang menjadi pegawai-pegawai Inggris di Kuala Lumpur dan Selangor ketika memulai pemerintahan tahun 1875? Boleh jadi kebutuhan pegawai tersebut diisi oleh orang-orang Mandailing dan Angkola. Demikian juga guru-guru di Kuala Lumpur didatangkan dari Padang Sidempoean. Catatan: Alumni (lulusan) Kweekschool Tanobato sudah mampu memenuhi guru di seluruh Afdeeling Mandailing dan Angkola. Alumni Kweekschool Padang Sidempoean banyak yang dikirim ke Riaouw, Djambie, Oostkust Sumatra dan Atjeh. Sangat masuk akal banyak guru dari Padang Sidempoean telah berhijrah ke Semenanjung, khususnya di Selangor.
Lantas apa yang membezakan sistem pemerintahan awal di Kuala Lumpur, Selangor dengan di Medan, Deli jika dibandingkan dengan Padang Sidempoean, Mandailing dan Angkola? Secara prinsip ada persamaan dan juga ada perbedaan. Persamaan adalah sama-sama dipimpin oleh penjajah (asing) setingkat Residen. Dalam memimpin ini Residen di Kuala Lumpur dan Medan bersama-sama dengan Sultan. Sedangkan di Mandailing dan Angkola, Residen memimpin dengan dibantu para Koeria (koordinator para kepala kampoeng). Ciri monarkis tampak menonjol di Deli dan Selangor, sementara di Mandailing dan Angkola lebih demokratis (berdasarkan keputusan dewan koeria) yang mana setiap kepala kampoeng dipersepsikan sebagai ‘raja’. Di Medan dan di Kuala Lumpur peran orang Tionghoa dikedepankan oleh pemerintah di bidang ekonomi. Oleh karena komunitas Tionghoa sangat banyak di Medan dan di Kuala Lumpur maka diangkat kapitein (kepala komunitas Tionghoa). Para kapiten (serta letnannya) cenderung memiliki banyak kesempatan yang kemudian mereka itu menjadi pengusaha-pengusaha berpengaruh. Tidak hanya berpengaruh kepada Sultan juga pengaruhnya mereka dapat mengubah program pemerintah kolonial. ‘Kolaborasi’ tiga serangkai (Sultan, Residen dan Kapitein Cina) yang notabene juga pendatang, cenderung menekan penduduk asli atau orang pendatang yang lebih awal (Mandailing dan Angkola). Sultan Deli (Riaouw) datang dari (pelabuhan) Laboehan ke Medan, Sultan Selangor (Makassar, sering dipertukarkan sebagai Bugis) datang dari (pelabuhan) Klang ke Kuala Lumpur.
Saat John Anderson melakukan ekspedisi di selat Malaka (pantai timur Sumatra dan pantai barat Semenanjung) orang-orang Mandailing dan Angkola sudahlah berada di sekitar pertemuan sungai Gombak dan sungai Klang (area ini kemudian menjadi Kwala Loempoer), sementara orang-orang Karo sudah sejak lampau mendiami daerah pengaliran sungai Deli. Salah satu kampoeng di pertemuan sungai Deli di hulu dengan sungai Babura disebut kampoeng Medan Poetri. Antara kampoeng Medan Poetri dan Laboehan (muara sungai Deli) terdapat Kampoeng Poelo Braijan (sekarang Pulau Brayan). Menurut John Anderson (1823), terjadi perang antara Radja Poelo Braijan (Batak) dengan Soeltan di Laboehan (Melayoe). John Anderson mencoba menengahi tetapi tidak berhasil. John Anderson menyebut otoritas Soeltan hanya terbatas di Laboehan dan Pertjoet, sedangkan wilayah dari pantai ke pedalaman dihuni penduduk Batak. Populasi di Laboehan hanya terdiri dari 200 rumah sedangkan penduduk Batak hingga ke pegunungan (Karaw) banyaknya 40.000. Dalam laporan-laporan Belanda kemudian, Soeltan meminta bantuan Ingggris di Penang dan menempatkan seorang Kapten di Laboehan. Sejak itu, posisi Soeltan di Laboehan semakin kuat
Soeltan Deli dan Soeltan Selangor mengawali invasi ke pedalaman sedikit berbeda. Soeltan Deli melakukan invasi ke pedalaman hingga hulu sungai Deli (pertemuan dengan sungai Babura) bermula ketika Belanda menaneksasi Deli tahun 1863. Sejak itu di Laboehan ditempatkan seorang Controleur Belanda. Pada tahun 1865 muncul pengusaha tembakau, Nienhuys yang dalam perkembangannya membutuhkan lahan kebun yang lebih luas hingga ke hulu sungai Deli di Medan, Soeltan Deli menjual lahan-lahan orang Batak (Karo) dalam bentuk konsesi kepada Nienhuys (dan planter-planter yang menyusul).
Sejak itu pundi-pundi Soeltan semakin kuat. Atas penyerobotan lahan-lahan ini, orang-orang Batak yang dipimpin oleh Datoe Soenggal menentang kuat perilaku Soeltan dan para planter. Muncullah perang yang mana Soeltan dan para planter dibantu oleh militer Belanda yang didatangkan dari Bengkalis. Kebutuhan tenaga kerja semakin banyak lalu didatangkan kuli dari Tiongkok. Muncul pengusaha Cina Tjong Jong Hian yang diangkat sebagai Kapietein. Persoalan semakin rumit hingga puncak Perang Soenggal terjadi pada tahun 1878. Sejak itu kekuatan orang-orang Batak di hulu sungai Deli semakin melemah (sebaliknya Soeltan yang sebelumnya yang hanya memiliki otoritas di sekitar muara sungai di pantai mulai secara perlahan merangsek ke pedalaman). Sejak itu orang-orang Batak semakin melayu. Sedangkan orang-orang Tionghoa semakin berjaya lebih-lebih setelah adik Tjong Jong Hian bernama Tjong A Fie diangkat sebagai Kaptein Cina (Tjing Jong Hian menjadi Majoor). Sejak itulah Medan dibenamkan sebagai wilayah yang bukan wilayah orang Batak (dan dipersepsikan sebagai wilayah orang Melayu).
Sementara itu di Selangor muncul apa yang disebut kemudian perang saudara. Ini dimulai adanya persaingan diantara pangeran-pangeran di Selangor. Raja Mahdi dari Kwala Loempoer (hulu sungai Klang) menyerang Raja Abdullah di Klang (muara sungai Klang). Persoalan semakin meruncing karena Raja Mahdi sebagai pemungut pajak/cukai dari orang-orang Mandailing dan Angkola serta orang-orang Tionghoa di Kwala Loempoer tidak disetor kepada Sultan Selangor di Kuala Selangor (muara sungai Selangor). Lalu Sultan Selangor menugaskan menantunya Tuanku Kudin (dari Kedah) untuk menumpas Radja Mahdi. Tuanku Kudin menyewa tentara bayaran Inggris dan Belanda di Singapoera.
Sebagaimana halnya dengan Perak, juga terjadi di Selangor. Terjadi perang saudara di Laroet, Perak. Ini bermula ditemukannya tambang timah terbaik. Lalu kemudian kuli Cina didatangkan. Para pangeran bertikai sehingga timbul perang. Pada akhir 1873 hanya tersisa 4.000 jiwa di district Laroet. Lalu Inggris datang dan melakukan perjanjian dengan Soeltan Perak pada tanggal 20 Januari 1874. Tidak lama kemudian pekerja mengalir lagi ke Laroet. Pada akhir 1874 terdapat sebanyak 33.000 pendatang baru yang mana sebanyak 26.000 Cina. Pada awal tahun 1874 hanya terdapat 30 tambang tetapi pada akhir tahun 1874 sudah sebanyak 120 buah tambang yang menghasilkan 1.584.000 d.olar. Sebanyak 31 persen hasil bagian dari Soeltan dan hanya menjadi 20 persen pada tahun 1876 dan kemudian akan diturunkan menjadi 15 persen (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 30-10-1875). Nama Laroet kemudian berubah menjadi Taiping (ibukota konfederasi Semenanjung). Tidak lama kemudian hal serupa terjadi di Selangor. Ini bermula bahwa ibukota Selangor beribukota Langat (Raja Mahdi?) dalam beberapa tahun terakhir telah berkembang pesat. Inggris memburu Raja Mahdi, seteru Raja Abdullah. Kemudian pada bulan Agustus 1874 Kapitein Swettenham menduduki Langat, wilayah yang sangat kaya hasil tambang timah. Inggris melakukan perjanjian dengan Sultan yang mana Soeltan hanya mendapat bagian sebesar 15 persen. Wilayah ini dilaporkan juga kaya akan kayu berharga, di mana gula, kopi dan tembakau juga ditanam (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 30-10-1875).
Dalam perkembangannya, antar pengusaha di Kwala Loempoer pecah. Orang-orang Mandailing yang dipimpin Sutan Puasa memihak Raja Mahdi sementara orang-orang Tionghoa yang dipimpin oleh Yap Ah Loy memihak Tuanku Kudin. Lalu muncul perang di Kwala Loempoer. Puncaknya Raja Mahdi yang didukung orang-orang Mandailing dan Angkola kalah dan kemudian menyingkir. Sementara, orang-orang Tionghoa mengambil alih seluruh Kwala Loempoer. Sejak itu Yap Ah Loy dan Sultan Selangor semakin kaya dan semakin kuat. Sejak itu Kwala Loempoer dipersepsikan didirikan oleh Yap Ah Loy. Namun kini, Kuala Lumpur semakin diakui sebagai kota yang dibangun oleh Sutan Puasa (bukan Yap Ah Loy). Ke depan apakah pelurusan sejarah Kota Kuala Lumpur akan berlaku di Kota Medan? Studi mutakhir dan interpretasi baru diperlukan. Kita tunggu saja.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. — Akhir Matua Harahap
This article first appeared in Poestaha Depok